I. Pengertian Psikoterapi
Psikoterapi
berasal dari kata psiko yang berarti kejiwaan atau mental dan terapi yaitu
penyembuhan. Psikoterapi adalah proses formal interaksi antara dua orang atau
lebih, dan salah satu berposisi sebagai penolong dan yang lain ditolong dengan
tujuan perubahan atau penyembuhan. Menurut (Allen E. Ivey, dan Lynn Simek.
Downing 1980) Psikoterapi juga bisa disebut suatu proses nerjangka panjang
berkenaan dengan rekonstruksi dan perubahan besar dalam struktur kepribadian.
Tujuan
Psikoterapi
Membuat
sesuatu yang tidak sadar menjadi sesuatu yang disadari. Membantu klien
menghidupkan kembali pengalaman-pengalaman yang sudah lewat dan bekerja melalui
konflik yang ditekan melalui pemahaman intelektual.
-
Tujuan
psikoterapi dengann pendekatan psikoanalisis
Corey (1991), yaitu membantu
klien menghidupkan kembali pengalaman-pengalaman yang sudah lewat melalui
konflik-konflik yang ditekan melalui pemahaman intelektual.
- Tujuan Psikoterapi behavioristik
Bertujuan
untuk menghilangkan kesalahan dalam belajar, mengganti dengan pola-pola
perilaku yang lebih sesuai dan belajar perilaku yang efektif
-
Tujuan
psikoterapi Pendekatan gestalt
Menurut Corey, untuk membantu
klien memperoleh pemahaman mengenai pengalaman-pengalamannya.
Unsur
Psikoterapi
Menurut Masserman ada tujuh
”pengaruh parameter” dasar yang mencakup unsur-unsur pada semua jenis
psikoterapi, diantaranya :
1. Peran sosial
2. Hubungan
3. Hak
4. Retrospektif
5. Re-edukasi
6. Rehabilitasi
7. Resosialisasi
8. Rekapitulasi
Perbedaan
antara Psikoterapi dan Konseling
Perbedaan
konseling dan psikoterapi disimpulkan oleh Pallone (1977) dan Pattersone (1973)
Dikutip oleh Thompson dan Rudolph (1983). Perbedaan antara konseling dan
psikoterapi adalah:
• Konseling
1. Berpusat pandang masa kini dan masa yang akan
datang melihat dunia klien.
2. Klien tidak dianggap sakit mental dan hubungan
antara konselor dan klien itu sebagai teman yaitu mereka bersama-sama melakukan
usaha untuk tujuan-tujuan tertentu, terutama bagi orang yang ditangani tersebut.
3. Konselor mempunyai nilai-nilai dan sebagainya,
tetapi tidak akan memaksakannya kepada individu yang dibantunya konseling
berpusat pada pengubahan tingkah laku, teknik-teknik yag dipakai lebih bersifat
manusiawi.
4. Konselor bekerja dengan individu yang normal yang
sedang mengalami masalah.
• Psikoterapi
1. Berpusat pandang pada masa yang lalu-melihat masa
kini individu,
2. Klien dianggap sakit mental.
3. Klien dianggap sebagai orang sakit dan ahli
psikoterapi (terapis) tidak akan pernah meminta orang yang ditolongnya itu
untuk membantu merumuskan tujuan-tujuan,
4. Terapis berusaha memaksakan nilai-nilai dan
sebagainya itu kepada orang yang ditolongnya.
5. Psikoterapis berpusat pada usaha pengobatan
teknik-teknik yang dipakai adalah yang telah diresepkan,
6. Terapi bekerja dengan “dunia dalam” dari kehidupan
individu yang sedang mengalami masalah berat, psikologi dalam memegang peranan.
Pendekatan
Psikoterapi terhadap Mental Illness
Terdapat beberapa pendekatan
psikoterapi terhadap mental illness seperti :
1.
Psychoanalysis dan psychodynamic:
Berfokus terhadap mengubah masalah prilaku, perasaan dan pikiran dengan cara
memahami akar masalah yang biasanya tersembunyi di pikiran bawah sadarnya untuk
mendapat solusi.
2.
Behavior therapy:Berfokus
dalam hukum pembelajaran. Perilaku seseorang akan dipengaruhi proses
pembelajaran seumur hidup tokohnya adalah Ivan Pavlov yang menemukan teknik classical
conditioning assosiative learning. Inti dari pendekatan behavior
therapy adalah manusia bertindak secara otomatis karena membentuk asossiasi
(hubungan sebab-akibat atau aksi-reaksi).
3.
Cognitive therapy: Cognitive
therapy dalah penyebab difungsi pikiran dan menyebabkan difungsi perilaku.
Tokohnya Albert Ellis dan Aron Back. Tujuan utama pendekatan kognitif adalah
mengubah pola pikir dengan cara mengubah meningkatkan kesadaran dalam pola
pikir rasional, metode psikoterapi yang termasuk dalam pendekatan
kognitif adalah collaborative empiricism, guide discovery.
4.
Humanistic therapy: Pendekatan
humanistic therapy menganggap bahwa setiap manusia itu unik dan setiap
manusia sebenarnya mampu menyelesaikan masalahnya sendiri. Setiap manusia
dengan keunikannya bebas menentukan pilihan hidupnya sendiri. Oleh karena itu
dalam terapi humanistik, seorang psikoterapis berperan sebagai fasilitator
perubahan saja bukan mengarahkan perubahan.
5.
Integrative therapy: Apabila
seseorang klien mengalami komplikasi gangguan psikologis yang namanya tidak
cukup bila ditangani dengan satu metode psikoterapi saja.
II. Terapi Psikoanalisis
Konsep Dasar
Teori Psikoanalisis tentang Kepribadian
1.
Kesadaran dan ketaksadaran
Bagi Freud, kesadaran merupakan
bagian terkecil dari keseluruhan jiwa. Seperti gunung es yang mengapung yang
bagian terbesarnya berada dibawah permukaan air, bagian jiwa yang terbesar
berada dibawah permukaan kesadaran. Ketaksadaran menyimpan
pengalaman-pengalaman, ingatan, dan bahan-bahan yang di represi. Freud percaya,
bahwa sebagian besar fungsi psikologis berada di luar kesadaran.
Sasaran terapi psikoanalitik adalah
membuat motif-motif tak sadar menjadi disadari, karena hanya ketika menyadari
motif-motif tersebutlah individu bisa melaksanakan pilihan. Walaupun diluar
kesadaran, ketaksadaran tetap mempengaruhi tingkah laku. Proses-proses tak
sadar adalah akar dari gejala dan tingkah laku neurotik. Dari perspektif ini,
penyembuhan adalah upaya untuk menyingkap gejala-gejala, sebab tingkah laku dan
bahan-bahan yang direpresi yang menghalangi fungsi psikologis yang sehat.
2.
Struktur Kepribadian
Menurut pandangan psikoanalitik,
struktur kepribadian dibagi menjadi tiga yaitu:
a. Id
Kepribadian seseorang hanya terdiri dari id ketika
dilahirkan. Id kurang terorganisasi, buta, menuntut, dan mendesak. Id tidak
bisa mentoleransi tegangan, dan bekerja untuk melepaskan tegangan itu sesegera
mungkin serta untuk mencapai keadaan homeostatik. Id diatur oleh asas
kesenangan, bersifat tidak logis, amoral, dan didorong oleh satu kepentingan.
b. Ego
Ego adalah eksekutif dari kepribadian yang memerintah,
mengendalikan, dan mengatur. Tugas utama Ego adalah menjadi pengantar
naluri-naluri dengan lingkungan sekitar. Ego mengendalikan kesadaran dan
melaksanakan sensor. Ego berlaku realistis dan berpikir logis serta merumuskan
rencana-rencana tindakan bagi pemuasan kebutuhan-kebutuhan.
c. Superego
Superego adalah cabang moral atau hukum dari
kepribadian, kode moral bagi individu yang urusan utamanya adalah apakah suatu
tindakan baik atau buruk, benar atau salah. Superego merepresentasikan hal yang
ideal yang real dan mendorong bukan pada kesenangan tetapi pada kesempurnaan.
Superego berfungsi menghambat impuls-impuls dari Id.
3. Mekanisme Pertahanan Ego
Mekanisme-mekanisme pertahanan ego
membantu individu mengatasi kecemasan dan mencegah terlukanya ego.
Mekanisme-mekanisme pertahanan ego tidak selalu patologis dan bisa memiliki
nilai penyesuaian jika tidak menjadi suatu gaya hidup. Berikut ini beberapa
bentuk mekanisme pertahanan ego :
a. Penyangkalan
Penyangkalan adalah pertahanan melawan kecemasan
dengan menutup mata terhadap keberadaan kenyataan yang mengancam. Individu
menolak sejumlah aspek kenyataan yang membangkitkan kecemasan.
b. Proyeksi
Proyeksi adalah mengalamatkan sifat-sifat tertentu
yang tidak bisa diterima oleh ego kepada orang lain. Seseorang melihat pada
diri orang lain hal-hal yang tidak disukai dan ia tiak bisa menerima adanya
hal-hal itu pada diri sendiri.
c. Fiksasi
Fiksasi adalah menjadi “terpaku’ pada tahap-tahap
perkembangan yang lebih awal karena mengambil langkah ke tahap selanjutnya bisa
menyebabkan kecemasan.
d. Regresi
Regresi adalah melangkah mundur ke fase perkembangan
yang lebih awal yang tuntutan-tuntutannya tidak terlalu besar.
e. Rasionalisasi
Rasionalisasi adalah menciptakan alasan-alasan yang
“baik” untuk menghndari ego dari cedera atau memalsukan diri sehingga kenyataan
yang mengecewakan menjadi tidak begitu menyakitkan.
f. Sublimasi
Sublimasi adalah menggunakan jalan keluar yang lebih
tinggi atau yang secara sosial lebih dapat diterima bagi dorongan-dorongannya.
g. Displacement
Displacement adalah mengarahkan energi kepada objek
atau orang lain apabila objek asal atau orang yang sebenarnya, tidak bisa
dijangkau.
h. Represi
Represi adalah melupakan isi kesadaran yang traumatis
atau bisa membangkitkan kecemasan, mendorong kenyataan yang tidak bisa diterima
kepada ketidak sadaran, atau menjadi tidak menyadari hal-hal yang menyakitkan.
Represi merupakan salah satu konsep Freud yang paling penting.
i. Formasi reaksi
Formasi reaksi adalah melakukan tindakan yang
berlawanan dengan keinginan tak sadar. Jika perasaan-perasaan yang lebih dalam
menimbulkan ancaman, maka seseorang menampilkan tingkah laku yang berlawanan
untuk menyangkal perasaan-perasaan yang bisa menimbulkan ancaman.
4. Perkembangan Psikoseksual
Sumbangan yang berarti dalam model
psikoanalitik adalah pelukisan tahap-tahap perkembangan psikososial dan
psikoseksual individu dari lahir hingga dewasa.
– Tahun pertama kehidupan : Fase Oral
Dari lahir sampai akhir usia satu tahun seorang bayi
menjalani fase oral. Mengisap buah dada ibu memuaskan kebutuhan akan makanan dan
akan kesenangan karena mulut dan bibir merupakan zona erogen yang peka selama
fase oral.
Tugas perkembangan utama fase oral adalah memperoleh
rasa percaya, yaitu percaya kepada orang lain, dunia, dan diri sendiri.
– Usia satu sampai tiga tahun : Fase Anal
Tugas yang harus diselesaikan ada fase ini adalah
belajar mandiri, memiliki kekuatan pribadi dan otonomi, serta belajar bagaimana
mengakui dan menangani perasaan-perasaan yang negatif. Selama fase anal, anak
dipastikan akan mengalami perasaan-perasaan negatif seperti benci, hasrat
merusak, marah, dsb.
– Usia tiga sampai lima tahun : Fase Falik
Selama fase falik, aktivitas seksual menjadi lebih
intens dan perhatian dipusatkan pada alat-alat kelamin yaitu penis pada anak
laki-laki dan klitoris pad anak perempuan. Pada fase falik, masturbasi
meningkat frekuensinya. Anak-anak menjadi lebih ingin tau tentang tubuhnya,
mereka berhasrat untuk mengekplorasi tubuh sendiri dan untuk menemukan
perbedaan-perbedaan diantar kedua jenis kelamin.
Unsur -
unsur Terapi
1.
Tujuan Terapi Psikoanalitik
Tujuan terapi psikoanalitik adalah
membentuk kembali struktur karakter individual dengan jalan membuat kesadaran
yang tidak disadari didalam diri klien. Proses terapi difokuskan pada upaya
mengalami kembali pengalaman-pengalaman masa anak-anak, direkonstruksi,
dibahas, dianalisis, dan ditafsirkan dengan sasaran merekonstruksi kepribadian.
2. Fungsi dan Peran Terapis
Karakteristik psikoanalisi adalah
terapi atau analis membiarkan dirinya anonim sera hanya berbagi sedikit
perasaan dan pengalaman sehingga klien memproyeksikan dirinya kepada analis.
Analis berusaha membantu klien dalam mencapai kesadaran diri, kejujuran,
keefektifan dalam melakukan hubungan personal dalam menangani kecemasan serta
secara realistis. Yang dilakukan klien sebagian besar adalah berbicara, yang
dilakukan oleh analis adalah mendengarkan dan berusaha untuk mengetahui kapan
dia harus membuat penafsiran yang layak untuk mempercepat proses penyingkapan
hal-hal yang tidak disadari.
Teknik –
teknik Terapi
Teknik-teknik dalam Psikoanalisis
disesuaikan untuk meningkatkan kesadaran, memperoleh pemahaman intelektual atas
tingkah laku klien, serta untuk memahami makna dari beberapa gejala. Kemajuan
terapeutik diawali dari pembicaraan klien ke arah katarsis, pemahaman, hal-hal
yang tidak disadari, sampai dengan tujuan pemahaman masalah-masalah intelektual
dan emosional. Untuk itu diperlukan teknik-teknik dasar psikoanalisis, yaitu :
1.
Asosiasi Bebas
Asosiasi Bebas merupakan teknik
utama dalam psikoanalisis. Terapis meminta klien agar membersihkan pikirannya
dari pikiran-pikiran dan renungan-renungan sehari-hari, serta sedapat mungkin
mengatakan apa saja yang muncul dan melintas dalam pikiran. Cara yang khas
adalah dengan mempersilakan klien berbaring di atas balai-balai, sementara
terapis duduk dibelakangnya sehingga tidak mengalihkan perhatian klien pada
saat-saat asosiasinya mengalir dengan bebas.
Asosiasi bebas merupakan suatu
metode pemanggilan kembali pengalaman-pengalaman masa lampau dan pelepasan
emosi-emosi yang berkaitan dengan situasi traumatis masa lalu, yang kemudian
dikenal dengan katarsis. Kartarsis hanya menghasilkan perbedaan sementara atas
pengalaman-pengalaman menyakitkan pada klien, tetapi tidak memainkan peran
utama dalam proses treatment (Corey, 1995).
2.
Penafsiran (Interpretasi)
Penafsiran merupakan prosedur dasar
di dalam menganalisis asosiasi bebas, mimpi-mimpi, resistensi, dan
transferensi. Caranya adalah dengan tindakan-tindakan terapis untuk menyatakan,
menerangkan dan mengajarkan klirn makna-makna tingkah laku apa yang
dimanifestasikan dalam mimpi, asosiasi bebas, resistensi, dan hubungan terapeutik
itu sendiri. Fungsi dari penafsiran ini adalah mendorong ego untuk
mengasimilasi bahan-bahan baru dan mempercepat proses pengungkapan alam bawah
sadar secara lebih lanjud. Penafsiran yang diberikan oleh terapis menyebabkan
adanya pemahaman dan tidak terhalanginya alam bawah sadar pada diri klien.
(Corey, 1995).
3.
Analisis Mimpi
Analisis Mimpi adalah prosedur atau
cara yang penting untuk mengungkap alam bawah sadar dan memberikan kepada klien
pemahaman atas beberapa area masalah yang tidak terselesaikan. Selama tidur,
pertahanan-pertahanan melemah, sehingga perasaan-perasaan yang direpres akan
muncul kepermukaan, meski dalam bentuk lain. Freud memandang bahwa mimpi
merupakan “jalan istimewa menuju ketidaksadaran”, karena melalui mimpi tersebut
hasrat-hasrat, kebutuhan-kebutuhan, dan ketakutan tak sadar dapat diungkapkan.
Beberapa motivasi sangat tidak dapat diterima oleh seseorang, sehingga akhirnya
diungkapkan dalam bentuk yang disamarkan atau disimbolkan dalam bentuk yang
berbeda.
Mimpi memiliki dua taraf, yaitu isi
laten dan isi manifes. Isi laten terdiri atas motif-motif yang disamarkan,
tersembunyi, simbolik, dan tidak disadari. Karena begitu menyakitkan dan
mengancam, maka dorongan-dorongan seksual dan perilaku agresif tak sadar (yang
merupakan isi laten) ditransformasikan ke dalam isi manifes yang lebih dapat
diterima, yaitu impian yang tampil pada si pemimpi sebagaimana adanya.
Sementara tugas terapis adalah mengungkapkan makna-makna yang disamarkan dengan
mempelajari simbol-simbol yang terdapat dalam isi manifes. Di dalam proses
terapi, terapis juga dapat meminta klien untuk mengasosiasikan secara bebas
sejumlah aspek isi manifes impian untuk mengungkapkan makna-makna yang
terselubung (Corey, 1995).
4.
Resistesi
Resistensi adalah sesuatu yang
melawan kelangsungan terapi dan mencegah klien mengemukakan bahan yang tidak
disadari. Selama asosiasi bebas dan analisis mimpi, klien dapat menunjukkan
ketidaksediaan untuk menghubungkan pikiran, perasaan, dan pengalaman tertentu.
Freud memandang bahwa resistensi dianggap sebagai dinamika tak sadar yang
digunakan oleh klien sebagai pertahanan terhadap kecemasan yang tidak bisa
dibiarkan, yang akan meningkat jika klien menjadi sadar atas dorongan atau
perasaan yang direpres tersebut.
Dalam proses terapi, resistensi bukanlah
sesuatu yang harus diatasi, karena merupakan perwujudan dari pertahanan klien
yang biasanya dilakukan sehari-hari. Resistensi ini dapat dilihat sebagai
sarana untuk bertahan klien terhadap kecemasan, meski sebenarnya menghambat
kemampuannya untuk menghadapi hidup yang lebih memuaskan (Corey, 1995).
5.
Transferensi
Resistensi dan Transferensi
merupakan dua hal inti dalam terapi psikoanalisis. Transferensi dalam keadaan
normal adalah pemindahan emosi dari satu objek ke objek lainnya, atau secara
lebih khusus pemindahan emosi dari orangtua kepada terapis. Dalam keadaan
neurosis, merupakan pemuasan libido klien yang diperoleh melalui mekanisme
pengganti atau lewat kasih sayang yang melekat dan kasih sayang pengganti.
Seperti ketika klien menjadi lekat dan jatuh cinta pada terapis sebagai
pemindahan dari orangtuanya (Chaplin, 1995).
Transferensi mengejawantah ketika
dalam proses terapi “urusan yang tidak selesai” (unfinished business) masa lalu
klien dengan orang-orang yang dianggap berpengaruh menyebabkan klien
mendistorsi dan bereaksi terhadap terapis sebagaimana dia bereaksi terhadap
ayah/ibunya. Dalam hubungannya dengan terapis, klien mengalami kembali perasaan
menolak dan membenci sebagaimana yang dulu dirasakan kepada orangtuanya. Tugas
terapis adalah membangkitkan neurosis transferensi klien dengan kenetralan,
objektivitas, keanoniman dan kepasifan yang relatif. Dengan cara ini, maka
diharapkan klien dapat menghidupkan kembali masa lampaunya dalam terapi dan
memungkinan klien mampu memperoleh pemahaman dan sifat-sifat dari
fiksasi-fiksasi, konflik-konflik atau deprivasi-deprivasinya, serta mengatakan
kepada klien suatu pemahaman mengenai pengaruh masa lalu terhadap kehidupannya
saat ini (Corey, 1995).
III. Terapi Humanistik Esistensial
Konsep Dasar
Pandangan Humanistik Eksistensi Tentang Perilaku/Kepribadian.
Pendekatan Eksistensial-humanistik
berfokus pada diri manusia. Pendekatan ini mengutamakan suatu sikap yang
menekankan pada 5 pemahaman atas manusia. Pendekatan Eksisteneial-Humanistik
dalam konseling menggunakan sistem tehnik-tehnik yang bertujuan untuk
mempengaruhi konseli. Pendekatan terapi eksistensial-humanistik bukan merupakan
terapi tunggal, melainkan suatu pendekatan yang mencakup terapi-terapi yang
berlainan yang kesemuanya berlandaskan konsep-konsep dan asumsi-asumsi tentang
manusia. Konsep-konsep utama pendekatan eksistensial yang membentuk landasan
bagi praktek konseling, yaitu:
a.
Kesadaran Diri
Manusia memiliki kesanggupan untuk
menyadari dirinya sendiri, suatu kesanggupan yang unik dan nyata yang
memungkinkan manusia mampu berpikir dan memutuskan. Semakin kuat kesadaran diri
seorang, maka akan semakin besar pula kebebasan yang ada pada orang itu.
Kesadaran untuk memilih alternatif-alternatif
yakni memutuskan secara bebas didalam kerangka pembatasnya adalah suatu aspek
yang esensial pada manusia. Kebebasan memilih dan bertindak itu disertai
tanggung jawab. Para ekstensialis menekan manusia bertanggung jawab atas
keberadaan dan nasibnya.
b. Kebebasan, tanggung jawab, dan kecemasan
Kesadaran atas kebebasan dan
tanggung jawab bisa menimbulkan kecemasan yang menjadi atribut dasar pada
manusia. Kecemasan ekstensial bisa diakibatkan atas keterbatasannya dan atas
kemungkinan yang tak terhindarkan untuk mati (nonbeing).
Kesadaran atas kematian memiliki
arti penting bagi kehidupan individu sekarang, sebab kesasaran tersebut
menghadapkan individu pada kenyataan bahwa dia memiliki waktu yang terbatas
untuk mengaktualkan potensi-potensinya. Dosa ekstensial yang juga merupakan
bagian kondisi manusia. Adalah akibat dari kegagalan individu untuk benar-benar
menjadi sesuatu sesuai dengan kemampuannya.
c. Penciptaan Makna
Manusia itu unik dalam arti bahwa ia
berusaha untuk menentukan tujuan hidup dan menciptakan nilai-nilai yang akan
memberikan makna bagi kehidupan. Menjadi manusia juga berarti menghadapi
kesendirian (manusia lahir sendirian dan mati sendirian pula). Walaupun pada
hakikatnya sendirian, manusia memiliki kebutuhan untuk berhubungan dengan
sesamanya dalam suatu cara yang bermakna, sebab manusia adalah mahluk rasional.
Kegagalan dalam menciptakan hubungan
yang bermakna bisa menimbulkan kondisi-kondisi isolasi dipersonalisasi,
alineasi, kerasingan, dan kesepian. Manusia juga berusaha untuk mengaktualkan
diri yakni mengungkapkan potensi-potensi manusiawinya. Sampai tarap tertentu,
jika tidak mampu mengaktualkan diri, ia bisa menjadi “sakit”.
Unsur –
unsur Terapi
Menurut Baldwin (1987), inti dari
terapi ini adalah penggunaan pribadi terapi
a. Kapasitas Untuk Sadar Akan Dirinya : Implikasi
Konseling.
Meningkatkan kesadaran diri, yang
mencakup kesadaran akan adanya alternative, motivasi, factor yang mempengaruhi
seseorang dan tujuan hidup pribadi, merupakan sasaran dari semua konseling.
Adalah tugas terapis untuk menunjukkan kepada klien bahwa peningkatan kesadaran
memerlukan imbalan.
b. Kebebasan dan Tanggung Jawab : Implikasi Konseling.
Terapis eksistensial terus-menerus
mengarahkan fokus pada pertanggungjawaban klien atas situasi mereka. Mereka
tidak membiarkan klien menyalahkan orang lain, menyalahkan kekuatan dari luar,
ataupun menyalahkan bunda mengandug. Apabila klien tidak mau mengakui dan
menerima pertanggungjawaban bahwa sebenarnya mereka sendirilah yang menciptakan
situasi yang ada, maka sedikit saja motivasi mereka untuk ikut terlibat dalam
usaha perubahan pribadi (May & Yalom, 1989; Yalom 1980).
Terapis membantu klien dalam
menemukan betapa mereka telah menghindari kebebasan dan membangkitkan semangat
mereka untuk belajar mengambil resiko dengan menggunakan kebebasan itu. Kalau
tidak berbuat seperti itu berarti klien tak mampu berjalan dan secara neurotik
menjadi tergantung pada terapis.
Terapis perlu mengajarkan klien
bahwa secara eksplisit mereka menerima fakta bahwa mereka memiliki pilihan,
meskipun mereka mungkin selama hidupnya selalu berusaha untuk menghindarinya.
c. Usaha Untuk Mendapatkan Identitas dan Bisa
Berhubungan Dengan Orang Lain : Implikasi Konseling.
Bagian dari langkah terapeutik
terdiri dari tugasnya untuk menantang klien mereka untuk mau memulai meneliti
cara dimana mereka telah kehilangan sentuhan identitas mereka, terutama dengan
jalan membiarkan orang lain memolakan hidup bagi mereka. Proses terapi itu
sendiri sering menakutkan bagi klien manakala mereka melihat kenyataan bahwa
mereka telah menyerahkan kebebasan mereka kepada orang lain dan bahwa dalam
hubungan terapi mereka terpaksa menerima kembali. Dengan jalan menolak untuk
memberikan penyelesaian atau jawaban yang mudah maka terapis memaksa klien
berkonfrontasi dengan realitas yang hanya mereka sendiri yang harus bisa menemukan
jawaban mereka sendiri.
d. Pencarian Makna : Implikasi Koseling.
Berhubungan dengan konsep
ketidakbermaknaan adalah apa yang oleh pratis eksistensial disebut sebagai
kesalahan eksistensial. Ini adalah kondisi yang tumbuh dari perasaan
ketidaksempurnaan atau kesadaran akan kenyataan bahwa orang ternyata tidak
menjadi siapa dia seharusnya. Ini adalah kesadaran bahwa tindakan serta pilihan
sesorang mengungkapkan kurang dari potensi sepenuhnya yang dimilikinya sebagai
pribadi. Manakala orang mengabaikan potensi-potensi tertentu yang dimiliki,
maka tentu ada perasaan kesalahan eksistensial ini.
Beban kesalahan ini tidak dipandang sebagai
neurotik, juga bukan sebagai gejala yang memerlukan penyembuhan. Yang dilakukan
oleh terapis eksistensial adalah menggalinya untk mengetahui apa yang bisa
dipelajari klie tentang cara mereka menjalani kehidupan. Dan ini bisa digunakan
untuk menantang kehadiran makna dan arah hidup.
e. Kecemasan Sebagai Kondisi Dalam Hidup : Implikasi
Konseling.
Kecemasan merupakan materi dalam
sesi terapi produktif. Kalau klien tidak mengalami kecemasan maka motivasi
untuk mengalami perubahan menjadi rendah. Jadi, terapis yang berorientasi
eksistensial dapat menolong klien mengenali bahwa belajar bagaimana bertenggang
rasa dengan keragu-raguan dan ketidakpastian dan bagaimana caranya hidup tanpa
ditopang bisa merupakan tahap yang perlu dialami daam perjalanan dari hidup
yang serba tergantung kea lam kehidupan sebagai manusia yang lebih autonom.
Terapis dan klien dapat menggali
kemungkinan yang ada, yaitu bahwa melepaskan diri dari pola yang tidak sehat
dan membangun gaya hidup baru bisa disertai dari pola yang tidak sehat dan
membangun gaya hidup baru bisa berkurang pada saat klien mengalami hal-hal yang
ebih memuaskan dengan cara-cara hidup yang lebih baru. Maakala klien menjadi
lebih percaya diri maka kecemasan mereka sebagai akibat dari ramalan-ramalan
akan datangnya bencana akan menjadi berkurang.
f. Kesadaran Akan Maut dan Ketiadaan : Implikasi
Konseling.
Latihan dapat memobilisasikan klien
untuk secara sungguh-sungguh memantapkan waktu yang masih mereka miliki, dan
ini bisa menggugah mereka untuk mau menerima kemungkinan bahwa mereka bisa
menerima keberadaannya sebagai mayat hidup sebagai pengganti kehidupan yang
lebih bermakna.
Teknik-teknik
Terapi
Proses konseling eksistensial
humanistik menggambarkan suatu bentuk aliansiterapeutik antara konselor dengan
konseli. Konselor eksistensial mendorong kebebasan dan tanggung jawab,
mendorong klien untuk menangani kecemasan, keputusasaan, dan mendorong
munculnya upaya-upaya untuk membuat pilihan yang bermakna. Untuk menjaga
penekanan pada kebebasan pribadi, konselor perlu mengekspresikan nilai-nilai
dan keyakinan mereka sendiri, memberikan arahan, menggunakan humor, dan
memberikan sugesti dan interpretsai dan tetap memberikan kebebasan pada klien
untuk memilih sendiri manakah diantara alternatif-alternatif yang telah
diberikan.
Proses konseling oleh para
eksistensial meliputi tiga tahap yaitu:
Tahap pertama
Konselor membantu klien dalam mengidentifikasi
dan mengklarifikasi asumsi mereka terhadap dunia. Klien diajak mendefinisikan
cara pandang agar eksistensi mereka diterima. Konselor mengajarkan mereka
bercermin pada eksistensi mereka dan meneliti peran mereka dalam hal penciptaan
masalah dalam kehidupan mereka.
Pada tahap kedua
Klien didorong agar bersemangat
untuk lebih dalam meneliti sumber dan otoritas dari system mereka. Semangat ini
akan memberikan klienpemahaman baru dan restrukturisasi nilai dan sikap mereka
untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dan dianggap pantas.
Pada tahap ketiga
Berfokus pada untuk bisa
melaksanakan apa yang telah mereka pelajari tentang diri mereka. Klien didorong
untuk mengaplikasikan nilai barunya dengan jalan yang kongkrit. Klien biasanya
akan menemukan kekuatan untuk menjalani eksistensi kehidupanya yang memiliki
tujuan. Dalam perspektif eksistensial, teknik sendiri dipandang alat untuk
membuat klien sadar akan pilihan mereka, serta bertanggungjawab atas
penggunaaan kebebasan pribadinya.
IV. Person Centered Therapy ( Rogers )
Konsep Dasar
Pandangan Carl RogersTentang Perilaku/Kepribadian
Terapi person centered merupakan
model terapi berpusat pribadi yang dipelopori dan dikembangkan oleh psikolog
humanistis Carl R. Rogers. Ia memiliki pandangan dasar tentang manusia, yaitu
bahwa pada dasarnya manusia itu bersifat positif, makhluk yang optimis, penuh
harapan, aktif, bertanggung jawab, memiliki potensi kreatif, bebas (tidak
terikat oleh belenggu masa lalu), dan berorientasi ke masa yang akan datang dan
selalu berusaha untuk melakukan self fullfillment (memenuhi kebutuhan dirinya
sendiri untuk bisa beraktualisasi diri). Filosofi tentang manusia ini
berimplikasi dan menjadi dasar pemikiran dalam praktek terapi person centered.
Menurut Rogers konsep inti terapi
person centered adalah konsep tentang diri dan konsep menjadi diri atau
pertumbuhan perwujudan diri. Pendekatan terapi person centered menekankan pada
kecakapan klien untuk menentukan isu yang penting bagi dirinya dan pemecahan
masalah dirinya. Terapi ini berfokus pada bagaimana membantu dan mengarahkan
klien pada pengaktualisasian diri untuk dapat mengatasi permasalahannya dan
mencapai kebahagiaan atau mengarahkan individu tersebut menjadi orang yang
berfungsi sepenuhnya. Konsep pokok yang mendasari adalah hal yang menyangkut
konsep-konsep mengenai diri (self), aktualisasi diri, teori kepribadian, dan
hakekat kecemasan.
Terapi ini cocok untuk orang-orang
dengan masalah psikologis yang ada ketidakbahagiaan dalam dirinya, mereka
biasanya akan mengalami masalah emosional dalam hubungan dikehidupannya,
sehingga menjadi orang yang tidak berfungsi sepenuhnya. Contohnya orang-orang
yang merasakan penolakan dan pengucilan dari yang lain, pengasingan yakni orang
yang tidak memperoleh penghargaan secara positif dari orang lain,
ketidakselarasan antara pengalaman dan self (tidak kongruensi), mengalami
kecemasan yang ditunjukkan oleh ketidakkonsistenan mengenai konsep dirinya,
defensive, dan berperilaku yang salah penyesuaiannya.
Unsur –
unsur Terapi
Pendekatan humanistik Rogers
terhadap terapi person centered therapy membantu pasien untuk lebih menyadari
dan menerima dirinya yang sejati dengan menciptakan kondisi-kondisi penerimaan
dan penghargaan dalam hubungan terapeutik. Rogers berpendapat bahwa terapis
tidak boleh memaksakan tujuan-tujuan atau nilai-nilai yang dimilikinya kepada
pasien. Fokus dari terapi ini adalah pasien.
Terapi adalah nondirektif, yakni pasien dan
bukan terapis memimpin atau mengarahkan jalannya terapi. Terapis memantulkan
perasaan-perasaan yang diungkapkan pasien untuk membantunya berhubungan dengan
perasaan-perasaannya yang lebih dalam dan bagian-bagian dari dirinya yang tidak
diakui karena tidak diterima oleh masyarakat. Untuk memahami dengan baik terapi
person-centered, maka penting sekali kalau orang memahami istilah-istilah
tertentu yang selalu digunakan Rogers.
Terapi person-centered bersandar
pada asumsi bahwa setiap orang memiliki motif aktualisasi-diri. Motif ini
didefinisikan sebagai kecenderungan yang lekat pada semua orang (dan pada semua
organisme) untuk mengembangkan kapasitas-kapasitasnya dalam cara-caranya yang
berfungsi untuk mempertahankan atau meningkatkan orang itu. Jika motif
diasumsikan ini tidak ada, maka fokus terapi person-centered pada non-directive
akan menjadi persoalan (patut diragukan). Rogers berpendapat bahwa seorang
terapis tidak boleh membuat sugesti-sugesti atau penafsiran-penafsiran dalam
terapi karena dalam pandangannya motif aktualisasi akan menuntun pasien dengan
sangat baik. Jika motif ini tidak ada, maka tidak ada alasan bagi terapis untuk
menjadi non-directive.
Teknik-teknik
terapi
Terapi ini tidak memiliki metode
atau teknik yang spesifik, sikap-sikap terapis dan kepercayaan antara terapis
dan klienlah yang berperan penting dalam proses terapi. Terapis membangun hubungan
yang membantu, dimana klien akan mengalami kebebasan untuk mengeksplorasi
area-area kehidupannya yang sekarang diingkari atau didistorsinya.
Terapis memandang klien sebagai
narator aktif yang membangun terapi secara interaktif dan sinergis untuk perubahan
yang positif. Dalam terapi ini pada umumnya menggunakan teknik dasar mencakup
mendengarkan aktif, merefleksikan perasaan-perasaan atau pengalaman,
menjelaskan, dan “hadir” bagi klien, namun tidak memasukkan pengetesan
diagnostik, penafsiran, kasus sejarah, dan bertanya atau menggali informasi.
Untuk terapis person centered, kualitas hubungan terapi jauh lebih penting
daripada teknis. Terapis harus membawa ke dalam hubungan tersebut sifat-sifat
khas yang berikut :
1.
Terapis menerima pasien dengan respek
tanpa menilai atau mengadilinya entah secara positif atau negatif. Pasien
dihargai dan diterima tanpa syarat. Dengan sikap ini terapis memberi
kepercayaan sepenuhnya kepada kemampuan pasien untuk meningkatkan pemahaman
dirinya dan perubahan yang positif.
2.
Keselarasan (congruence).Terapis
dikatakan selaras dalam pengertian bahwa tidak ada kontradiksi antara apa yang
dilakukannya dan apa yang dikatakannya.
3.
Terapis mampu melihat pasien dalam
cara empatik yang akurat. Dia memiliki pemahaman konotatif dan juga kognitif.
4.
Mampu mengkomunikasikan sifat-sifat
khas ini. Terapis mampu mengkomunikasikan penerimaan, keselarasan dan pemahaman
kepada pasien sedemikian rupa sehingga membuat perasaan-perasaan terapis jelas
bagi pasien.
5.
Hubungan yang membawa akibat. Suatu
hubungan yang bersifat mendukung (supportive relationship), yang aman dan bebas
dari ancaman akan muncul dari teknik-teknik diatas.
Sumber :
https://anisaaoctavia.wordpress.com/2015/04/16/tugas-softskill-psikoterapi/
https://rifkaputrika.wordpress.com/2015/04/16/konsep-dasar-teori-psikoanalisis/